begitu kata Gunawan Maryanto, penulis & sutradara teater Garasi
Seiring dengan menjalani workshop, kelas, dan training keaktoran selama dua setengah bulan ini, saya beserta 10 peserta Actor Studio yang lain, diberi sejumlah pilihan naskah monolog untuk nantinya dipentaskan. Selaras dengan kegiatan-kegitan itu, sedikit banyak naskah-naskah tersebut, sudah dan tengah kami coba perankan dalam sekian repertoar pendek. Masing-masing aktor dengan naskah masing-masing. Mulai dari diujikan dengan penekanan pada pelisanan, penekanan pada memberi teknik muncul, penekanan pada level tubuh, penekanan pada permainan properti, penekanan pada moving (atau pengadeganan), penekanan pada memberi isi, penekanan pada irama permainan (tempo, nada, dan dinamika), penekanan pada timing (ketepatan momen), penekanan pada membina puncak, hingga sampailah pada mengaplikasikan semuanya. Ya, tibalah kini pada rehearsal (latihan pementasan) untuk pola akting realis.
O ya, latihan dibedakan menjadi 2, yaitu 1. training, yang berarti mengolah pra-ekspresi. 2. rehearsal, yang berarti mengolah ekspresi atau latihan pementasan. Mengenai pentas monolog yang akan kami presentasikan dibagi menjadi 2 yaitu, pola akting realis dan pola akting non realis. Untuk pola akting realis, merujuk kelas Mas Yudi (Yudi Ahmad Tajudin) kira-kira saya simpulkan yaitu, memerankan tokoh dengan pola akting seperti lazimnya kegiatan harian sang tokoh sebagai manusia normal. Misal, kegiatan duduk dan minum kopi ditubuhkan dengan duduk dan minum kopi seperti wajarnya manusia normal. Singkatnya, hal yang ditubuhkan itu bersifat realistis. Meski untuk ukuran panggung, sesuatu yang ditubuhkan atau dilisankan memiliki ukuran kewajaran tersendiri. Misal, dalam medium panggung, ada perbesaran pada vokal (vokal diberi volume lebih besar dibanding volume berbicara sehari-hari). Untuk pola akting non realis, saya coba rangkum begini; memerankan karakter secara metafora baik penubuhan maupun pelisanan.
Menurut penilaian saya kali ini (lain kali, saya bisa lain lagi), pola akting non realis lebih sulit. Terkait ini, saya seperti masih meraba-raba kain hitam yang gelap! Hehehe Karena, mungkin referensi kosa gerak dan pelisanan non realis yang saya miliki belum banyak! Selain itu, ya ampun… saya begitu ciluk ba…! atas motivasi gerak sebuah gerakan non realis. Jika saja gerakan non realis boleh berlindung pada pernyataan “tak perlu diartikan dalam tiap gerakan”, bukankah ini akan sampai pada kesimpulan bahwa “menggeliat pun adalah teater!?” Nah lho!!! Sementara beberapa teman, merasa justru lebih mudah melakukan pola akting non realis! Baiklah-baiklah, mari belajar lagi!
Mengenai naskah monolog, pilihan saya jatuh pada pandangan pertama, saat saya menemukan teks yang ditulis Djenar Maesa Ayu, berjudul Saya di Mata Sebagian Orang. Dari paragraf awal saja, saya sudah terkesan. Saya setuju dengan pendapat seorang teman tentang cerita naskah ini yang begitu seksi. Saya kira teks ini cocok untuk saya coba mengawali kerja kretif saya menjadi aktor. Sebenarnya, sebelum mengikuti belajar keaktoran, saya pernah beberapa kali mementaskan puisi dramatikal dan drama panggung yang digarap seadanya. Singkatnya, saya sudah pernah mencoba akting sebelum tahu disiplin akting. Maka, untuk kali ini setelah dibekali disiplin pengetahuan dan disiplin teknik keaktoran, saya harap bisa melakukannya dengan lebih baik.
Tentang naskah-naskah lain yang menjadi pilihan teman-teman, memiliki keunikan tersendiri, yang konon mereka sepakat bahwa teks menemukan aktor! Peran-peran yang dipilih, katanya pas buat masing-masing dari kami. Pas dalam arti, bukan berarti karakter tokoh dekat dengan kepribadian aktor. Tapi justru sebaliknya, karakter peran menuntut aktor menjadi seorang yang berbeda dari dirinya. Atau, pas dalam arti, para aktor menemukan PW (posisi wuenak) memasuki teks. Setidaknya itu kesimpulan saya dari wacana yang saya tangkap. Yang jelas, kami sebagai aktor diarahkan bagaimana memasuki teks dengan berbagai pendekatan yang sistematis.
Mengenai naskah yang saya pilih, bercerita tentang seorang perempuan muda, belum menikah, bekerja di sebuah kantor, mengidap positif HIV, dan memiliki cara pandang norma yang berbeda dengan lingkungan di sekelilingnya. Di mana sebagian lingkungannya menganggap ia munafik, pembual, sok gagah, sakit jiwa, dan murahan! Ia berjibaku dengan segenap perasaannya atas pandangan sebagian orang terhadapnya. Situasi lokasi cerita tidak disebutkan, namun saya tafsir ini berlangsung di sebuah kota besar di Indonesia.
Saya merasa tertantang mengambil peran ini karena, peran ini menuntut saya melakukan pembongkaran diri yang lebih, dimana saya mencoba menempuh jarak khusus untuk berempati merasakan apa yang tokoh rasakan. Saya mulai dengan survei di majalah dan mengamati orang-orang yang secara visual menurut ukuran saya dan pandangan umum, pantas merepresentasikan karakter tokoh. Di depan cermin, saya mencari pose-pose diri tercocok, bagaimana menentukan level tubuh (berjalan, berdiri, duduk, dsb.), memandang, menarik garis senyum dan sebagainya. Juga, tak terlupakan pertengahan Agustus 2007, saya belajar merokok, meluweskan cara memegang rokok, menjentikkan abu rokok, hingga mencoba berbagai cara menghisap dan mengepulkan asap rokok. Akan menjadi sejarah tersendiri buat saya, ketika menyiapkan repertoar kecil 10 menit dengan memainkan properti rokok, saya yang tidak terbiasa merokok, berlatih dengan menghabiskan 5 batang rokok sekaligus! Saya tahu, ada yang merekam dan memotret selama latihan, karena itu saya merasa perlu ijin ke keluarga tentang aktifitas saya di pendopo Garasi. ;p
Bagi saya, jika sudah masuk tempat latihan ataupun panggung, saya memiliki batasan yang cukup longgar dibanding saya menjalani diri saya yang sebenarnya dalam keseharian. Saya jadi ingat sesuatu, ini berkebalikan dengan teman-teman teater ESKA Yogyakarta (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga), yang memberi batasan ketat di panggung. Misal selama pentas, mereka yang perempuan dengan peran apapun harus menutup seluruh tubuh, kecuali wajah, telapak tangan, dan telapak kaki, serta tak boleh terjadi sentuhan sedikitpun antara aktor lelaki dan perempuan, meski hanya sebatas gandengan tangan. Namun di luar pentas, mereka bebas menentukan batasan. Sekali lagi, bagi saya, saya justru lebih nyaman memberi batasan diri yang lebih ketat dalam kehidupan sebenarnya yang saya jalani, dibanding ketika saya pentas atau saat saya latihan.
Meski saya memiliki batasan yang cukup longgar ketika latihan dan pementasan, tapi saya harus selalu coba jujur terhadap diri. Seperti yang dikatakan salah satu fasilitator, Kusworo Bayu Aji (direktur ekskutif teater Garasi) saat training Teknik Bermain Teater (7 September 2007) bahwa, berteater harus jujur; memberi porsi yang tepat pada karakter yang dimainkan. Kira-kira penjelasannya begini, bila perlu menari dan mampu menari, maka menarilah. Jika tidak mampu, maka belajarlah. Bila perlu menyanyi dan fals, maka jujurlah bahwa suaranya memang fals! Hehehe, bingung nggak? Hm, saya juga mengerutkan dahi nih, yang jelas intinya kita harus jujur! Ya, seperti yang diingatkan Mas Aji bahwa, nggak jujur berarti dosa! (lho…;p)
Kembali ke naskah, saat saya tengah mengolah naskah ini untuk diperankan, banyak masukan dari teman-teman dan para fasilitator. Misal kritik bahwa, konon dalam sebuah repertoar kecil, saya kurang sensual dalam memerankan tokoh. Juga pujian bahwa, katanya saya yang tampil terkesan menggoda, sudah cukup bagus memasuki karakter. Ada juga yang mengingatkan bahwa, saya perlu hati-hati dengan tangan saya yang sering melakukan gerak simetris bawaan. Berbagai catatan ini itu atas berbagai repertoar pendek yang telah saya lakukan, tentu saja ini menambah wawasan, menjadi lebih mengenal batasan diri, dan meningkatkan kemampuan akting! Cie…J
Berhubung peran yang akan saya mainkan memiliki karakter yang cukup ekstrim, teman saya menyebutnya “lajang nan jalang”, lambat laun ternyata saya cukup bisa berempati bahwa, sebutan terakhir begitu menyakitkan. Hm, bukankah ini berarti saya sudah dan tengah menempuh sedekat mungkin pada karakter sang tokoh?! Saya tidak tahu pasti apa yang dirasakan si tokoh dengan jalan hidupnya, tapi saya coba mengenal dan coba berada di posisinya. Ini tidak berarti saya harus benar-benar mengikuti cara hidup sang tokoh lho! Seandainya tokoh tersebut melakukan bunuh diri yang gagal, tidak berarti aktor benar-benar melakukannya bukan? Sampai batas saya bisa merasakan perasaan tokoh atas anggapan-anggapan miring yang dituduhkan ke tokoh tersebut, dalam hal penjiwaan, menurut ukuran saya, itu sudah cukup.
Mengapa aktor perlu menempuh jarak pada karakter tokoh? Mencoba mendengar suara terkuat hingga terlirih sang tokoh, mengamati gerakan tercepat hingga terlemah sang tokoh, merasakan gesekan terkasar hingga terhalus sang tokoh dan sebagainya. Dalam workshop Teknik Bermain Teater (22-24 Agustus 2007), Rukman Rosadi (aktor senior dan dosen teater Institut Seni Indonesia Yogyakarta) menjelaskan bahwa, setiap orang mempunyai karakter yang berbeda, maka tugas aktor adalah menemukan faktor-faktor penyebab susunan karakter, merangkai dengan analisa dan menciptakan karakter-karakter baru yang hidup (hayat-menghayati) dan memiliki jiwa (jiwa-menjiwai) dengan segala kerumitan psikologis, fisik, pikiran, dan tindakan-tindakannya.
Perihal pakaian, seorang teman memberi saran, tokoh yang saya perankan ini lebih pas memakai tanktop dan rok mini. Yang lain bilang, lebih cocok mengenakan celana pendek dan baju hem laki-laki berwarna putih dengan kancing terbuka seperti habis bercinta. Yang lain lagi katakan…bla..bla..bla…yang intinya karakter seperti itu sepantasnya memakai pakaian terbuka. Hm…tapi tentu saja saya punya kuasa tersendiri untuk menentukan bagaimana saya akan membungkus tubuh saya sebagai perwakilan wadah jiwa sang tokoh.
Bisa jadi saya mengambil penggalan kehidupan sang tokoh saat ia kedinginan dan terkena demam, sehingga ia perlu memakai jaket berlapis, menutup kepala dan menutup wajah karena sedang flu! (bila demikian, bagi yang taruhan bahwa saya akan pakai tanktop, silakan gigit jari! Hahaha). Atau boleh jadi, saya memindahkan kehidupan tokoh ke panggung pada penggalan waktu sang tokoh di pinggir kolam renang, maka tokoh perlu dipresentasikan tengah berpakaian renang. Itu menjadi hak pilih saya, bukan? Dan, pada akhirnya saya harus jujur terhadap diri, sampai di mana saya bisa jujur untuk mampu memindahkan sebuah penggalan keadaan sang tokoh. Saya akan kembali, setelah saya pentas! Tunggu ya…J
Dengan segala kesibukan lalu lintas yang terjadi dalam diri saya selama mengikuti belajar keaktoran ini, saya ingin katakan bahwa saya bahagia menjalani ini dan merasa hidup saya lebih penuh dengan mengenal semua ini. Meski, kini saya malah merasa belum tahu pasti akan dibuat apa dan dibawa kemana apa yang sudah saya peroleh ini. Kali ini, biarkan saya mengakhiri tulisan ini dengan mengutip yang disampaikan Yudi Ahmad Tajudin (direktur artistik teater Garasi) dalam kelas Style Teater (5 September 2007) bahwa, berteater adalah upaya memahami dan memberi arti dalam hidup, serta memberi terang lingkungannya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar